Minggu, 04 Januari 2009

Riwayat singkat Bung Hatta

12 Agustus 1902, Lahir di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Tahun 1916, Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond. Pada saat itu timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon.

Tahun 1921, Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging.


Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

17 Januari 1926, Hatta terpilih menjadi Ketua PI. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

10-15 Pebruari 1927, Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

22 Maret 1928, Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, oleh mahkamah pengadilan di Den Haag keempatnya dibebaskan dari segala tuduhan. Sebelumnya mereka dipenjara selama lima setengah bulan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta.

Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Februari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira.

Januari 1936, keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

8 Desember 1942, pidato yang diucapkannya di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."

Awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.

17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

Tanggal l8 Nopember 1945, Hatta menikahi dengan Rahmi Rachim di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah.

Juli I947, Bung Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

17 Juli 1953, dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden.

27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Tahun 1960, Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.

Tanggal 14 Maret 1980, Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada keesokan harinya.

~dari berbagai sumber~

Read more.....

Kamis, 18 September 2008

Riwayat Singkat Ir. Soekarno

PROKLAMATOR KEMERDEKAAN RI, PEMIMPIN BESAR REVOLUSI, PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT, PENGGALI PANCASILA

6 JUNI 1901, Hari Kamis Pon. Windu Sanjaya. Wuku Wayang di Lawang Seketeng Surabaya, saat fajar menyingsing lahirlah jabang bayi Koesno yang kelak akan menjadi Soekarno dan pasangan Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben, seorang putri keturunan Kasta Brahmana dan Banjar Balai Agung Singaraja Bali dengan Raden Soekemi Sosrodiharjo, Putra Raden Hardjodikromo seorang tokoh kebatinan di Tulungagung Jawa Timur. Saat kecil, Soekarno diasuh oleh Mbok Sarinah, sekaligus yang mengajarkan tentang kecintaan kepada orang tua, rakyatjelata dan sesama manusia.

Tahun 1915, Tamat EUROPEESCHE LAGERE SCHOOL (ELS) di Mojokerto — Jawa Timur.

10 JUNI 1921, Pelajar Soekarno tamat dan sekolah HOGERE BURGER SCHOOL (HBS) di Surabaya. Semasa di HBS, ayahnya menitipkan Soekarno di rumah HOS. Cokroaminoto, Politikus Nasional dan Serikat Islam (SI). Di rumah inilah Soekarno dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh Pergerakan Nasional, antara lain : Alimin, Muso, Darsono, serta mengenal dunia idea tokoh-tokoh dunia seperti Thomas Jefferson Jawaharal Nehru, Gladestone, Mahatma Gandi, Mazzini Jamaluddin Al Afgani, Moh Abduh, dIl.

25 MEI 1926, Soekarno berhasil menyelesaikan studinya di TERHNISCHE HOGE SCHOOL (THS) Bandung dengan mendapat gelar CIVIEL INGENIEUR (Insinyur Sipil)

Tahun 1926, Diawali dengan pertemuan dengan seorang petani bernama Pak Marhaen di daerah Cigareleng Bandung Selatan dan melalui proses perenungan yang dalam serta serius, akhirnya Soekarno menemukan konsep Marhaen. Marhaenis, Marhaenisme sebagai teori perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, oleh karenanya Bung Karno disebut sebagai Bapak Marhaenisme. Menulis artikel tentang Nasionallsme. Islamisme dan Marxisme” dan bersama-sama kawannya mendirikan “Algemeene Studieclub di Bandung, suatu perkumpulan yang mempelajari pergerakan politik yang didasarkan pada paham kebangsaan dan beruratnadikan rakyat jelata.

4 JULI 1927, Ir. Soekarno bersama Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, Dr. Sanusi Sastrowidagdo, Mr. Budiarto, Mr. Sartono, Mr. Sunaryo dan Ir. Anwari mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang bertujuan mencapai Indonesia Merdeka. Pada kongres PNI pertama.

27 sampai dengan 30 Mei 1928 di Surabaya, Perserikatan Nasional Indonesia berubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) dan menerbitkan majalah Suluh Indonesia.

Tahun 1928, Ir. Soekarno mengajarkan “Trilogi” perjuangannya yaitu: - National Geest = Kesadaran Berbangsa - National Will = Kemauan Berbangsa - National Daad = Tindakan berbangsa.

17 APRIL 1931, Bung Karno menyampaikan pledoinya di hadapan Pengadilan Kolonial Belanda setelah mengalami 19 kali persidangan selama 4 bulan. Pembelaan tersebut tetap tidak bisa membebaskan dan segala tuntutan, maka hakim Kolonial menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara di Banceuy dan kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung. Pledoi Bung Karno kemudian dibukukan dalam “Indonesia Menggugat”.

MARET 1932, Bung Karno menulis nsalah Mencapai Indonesia Merdeka” di Pengalengan selatan Kota Bandung dalam majalah Fikiran Rakyat.

1 AGUSTUS 1933, Bung Karno ditangkap oleh Polisi Kolonial Belanda di rumah Moh. Husni Thamrin di Jakarta dan dijebloskan dalam penjara Sukamiskin selama 4 bulan.

17 FEBRUARI 1934, Bung Karno dibuang ke Ende, di Pulau Flores selama 4 tahun didampingi Ibu Inggit Garnasih dan putri angkat Ratna Djuwani serta Ibu Amsi (mertua), berangkat dengan Kapal “Van Reibeeck”. Di tanah pembuangan Ende-Flores selama 4 tahun ini, Bung Karno banyak menulis artikel tentang Islam yang ditujukan kepada A. Hasan, guru ‘Persatuan Islam” di Bandung. Kemudian sebanyak 12 surat tersebut diterbitkan dengan judul “Surat-Surat Islam dari Ende”.

14 FEBRUARI 1938, Berdasarkan besluit Pemerintah Kolonial Belanda tertanggal 14 Februari 1938, pembuangan Bung Karno dipindah ke Bengkulu. Sesampai di Bengkulu. Bung Karno menjadi Ketua Pengajaran Muhamadiyah Daerah Bengkulu.

9 JULI 1942, Ketika ada tanda-tanda Jepang mendarat, rencananya Bung Karno akan dilarikan ke Padang, kemudian dibawa lagi ke Australia oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah Jepang mendarat dan berhasil merebut Bung Karno, maka dikembalikan ke Jakarta tanggal 9 Juli 1942. Maka berakhirlah masa pembuangan Bung Karno oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

9 MARET 1943, Bung Karno bersama Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas Mansur memimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera) sebagai sarana taktis untuk menyusun tenaga dan kekuatan rakyat terlatih dalam merebut Kemerdekaan dari Jepang.

JUNI 1943, Bung Karno menikah dengan Fatmawati.

I JUNI 1945, Bung Karno berpidato dalam Sidang Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di gedung Pejambon Jakarta. Dalam pidato tersebut, Bung Karno mengemukakan gagasan Philosofiche Gronslaag yang digali dan sosio cultural bangsa sendiri sebagat dasar Indonesia Merdeka, Sejak itu pula Bung Karno dikenal sebagai Penggali Pancasila.

8 JUNI 1945, Bung Karno dipilih sebagai Ketua Dokuritsu Zyunbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Atas kewenangannya itu Bung Karno merubah anggota PPKI dan 21 orang menjadi 27 orang dengan maksud untuk ingin mengubah lembaga buatan Jepang menjadi lembaga bersifat Nasional yang mencerminkan perwakilan nusantara.

10 JULI 1945, Bung Karno memimpin sidang panitia kecil BPUPKI ke II bertempat di rumah Bung Karno untuk menyusun Konstitusi Negara Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

15 AGUSTUS 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda yang dipimpin oleh Chaerul Saleh dan Adam Malik, dan dilarikan ke Rengasdengklok untuk didesak segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesta saat itu juga. Setelah terjadi perdebatan yang cukup menegangkan dan berakhir dengan persesuaian pendapat, maka Bung Karno dan Bung Hatta dikembalikan ke Jakarta.

17 AGUSTUS 1945, Bung Karno dan Bung Hatta mewakili seiuruh rakyat Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia tepat hari Jumat Legi pukul 10.00 WIB di Gedung Pegangsaan Timur 56 Jakarta dan disiarkan melalui Kantor Besar Radio Domei. Bendera Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati berkibar diiringi lagu “Indonesia Raya”. Sejak hari itu Bung Karno dan Bung Hatta disebut sebagai “Proklamator Kemerdekaan Indonesia “.

18 AGUSTUS 1945, PPKI mengangkat Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden (berdasarkan Aturan Peralihan, pasal 3 UUD 1945) dan dalam melaksanakan jabatannya dibantu oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP).

5 OKTOBER 1945, Dekrit Presiden untuk membentuk angkatan perang. Maka pemerintah menugaskan kepada Mayor Urip Sumohardjo untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) serta mengangkat Sodanco Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun tidak pernah hadir dan tidak diketahui keberadaannya.

Akhir Desember 1945, tentara Belanda memasuki Jakarta, maka Bung Karno dan Bung Hatta secara rahasia berangkat dari Jakarta ke Jogjakarta dengan naik kereta pada malam hari (belakang rumah Bung Karno ada rel kereta api) dengan dasar pertimbangan bahwa resiko mempertahankan pusat pemerintahan terlalu besar, maka diputuskan pusat pemerintahan dipindah ke Jogjakarta.

18 SEPTEMBER 1948, Pemberontakan PKI meletus di Madiun dibawah pimpinan Muso yang ingin mendirikan Pemerintahan Komunis Sovyet di Indonesia, maka Bung Karno menyerukan kepada masyarakat melalui radio untuk memilih pemimpinnya “Soekarno — Hatta atau Muso dan PKI-nya”. Akhirnya rakyat menjatuhkan pilihannya kepada Soekarno — Hatta.

Pada Oktober 1948, Divisi Siliwangi di bawah pimpinan AH Nasution berhasil memadamkan pemberontakan dan Muso mati dalam pertempuran kecil.

19 DESEMBER 1948, Agresi Militer Belanda ke II, Jogjakarta diduduki Belanda.

22 Desember 1948, pukul 07.00, Kolonel Van Langen menangkap Bung Karno, H. Agus Salim dan Sutan Syahril dibawa ke Medan. sedangkan Bung Hatta, Mr. Moh. Roem, Mr. All Sastro Amijoyo, Mr Gafar Pringgodikdo, Mr. Assaat dan Komodor Suria Darma dilarikan ke Bangka. Dalam perjalanan dari Istana Jogjakarta sampai ke Prapat (Sumatera Utara), Bung Karno mengalami tiga kali usaha pembunuhan terhadap dirinya, yaitu: • Menurut pengakuan Kapten Vosfeiet, sopir Jeep yang diperintah oleh Jenderal Spoor, Panglima Besar tentara Belanda: “DaIam perjalanan dan Istana menuju Maguwo, Bung Karno dinaikkan jeep terbuka. tanpa borgol dan berjalan pelan”, dimaksudkan agar Bung Karno punya kesempatan melarikan diri dan akan ditembak mati. “ • Menurut pengakuan Mr Yoseph Marie Antoim Habert Luns, mantan Menteri Luar Negeri Belanda dan Sekjen NATO: “Dalam perjalanan udara dari Maguwo ke Medan, Bung Karno akan dibunuh dengan cara dilemparkan dari kapal udara • Kesaksian juru masak (perempuan) para tawanan Brastagi mendapat perintah dari opsir bahwa besok pagi tidak perlu memasak untuk para tawanan, sebab besok pagi Bung Karno dan teman-temannya akan menjalani eksekusi tembak mati. Karena Belanda menganggap bahwa untuk menghancurkan Republik Indonesia harus melenyapkan Soekarno lebih dahulu. Malam harinya rakyat Brastagi menyusun gerilya untuk membebaskan Bung Karno, tapi upaya tersebut sudah diketahui oleh tentara Belanda, maka Bung Karno dibawa lari oleh Algojo Belanda menuju Prapat.

6 JULI 1949, Bung Karno dan pemimpin lainnya dikembalikan oleh Belanda ke Jogjakarta setelah melalui perjanjian ‘Roem — Royen Statements’

28 DESEMBER 1949, Bung Karno bersama rombongan kembali ke Jakarta dengan 2 pesawat Dakota (yang salah satunya merupakan sumbangan rakyat Aceh), mendarat di Kemayoran sekitar pukul 11.30 WIB. dengan diiringi bendera asli proklamasi. Rombongan menuju Istana Negara dan mulai saat itu Ibu Kota kembali ke Jakarta.

7 JULI 1953, Bung Karno menikah dengan Ibu Hartini.

18 APRIL 1955, Bung Karno menyampaikan pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika ke I di Bandung dengan judul Asia Baru dan Afrika Baru”.

JULI 1955, Bung Karno naik Haji ke Tanah Suci.

21 FEBRUARI 1957, Pidato Presiden di Istana Negara tentang Konsepsi yang menolak demokrasi liberal karena melahirkan tirani minoritas dan mayoritas, yang dikehendaki adalah demokrasi terpimpin oleh nilai-nilai yang berakar pada masyarakat Indonesia. Ekses dan sikap politik tersebut, dan kelompok reaksioner mengadakan upaya pembunuhan terhadap Bung Karno dengan cara penembakan di Hari Raya Idul Adha dan geranat meledak di Cikini.

30 SEPTEMBER 1960, Bung Karno pidato di depan Sidang Umum PBB di New York — Amerika Serikat dalam judul “To Build The World A New” yang menawarkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar piagam PBB.

19 DESEMBER 1961, Presiden Soekarno memberikan Komando Pembebasan lrian Barat yang dikenal dengan nama “Tri Komando Rakyat” (Trikora) pada rapat umum di Jogjakarta yang berisikan: 1. Gagalkan pembentukan Negara “Papua” bikinan Kolonial Belanda. 2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat 3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum. Atas komando tersebut, wilayah Irian Barat yang mempunyai luas beberapa kali Pulau Jawa dalam waktu 1 tahun, 4 bulan, 13 hari sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

3 MARET 1962, Menikah dengan Ratna Sari Dewi, (Naoko Nemoto).

3 MEI 1964, Komando Dwi Kora.

11 MARET 1966, Presiden Soekarno memberikan perintah (Supersemar) kepada menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Soeharto untuk: 1. Mengambil segera tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan kewibawaan pimpinan, Presiden /Panglima Tertinggi /Pimpinan Besar Revolusi /Mandataris MPR, untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan Panglima Angkatan lainnya dengan sebaik-baiknya. 3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawab seperti tersebut di atas.

7 MARET 1967, Kekuasaan Pemerintahan Bung Karno dipreteli oleh Tap. MPRS No. XXXIII / MPRS / 1967, secara hukum TAP tersebut mempunyat kelemahan yang serius, karena seseorang yang belum atau ttdak terbukti kesalahannya tetapi hak-haknya dicabut dan tidak dikembalikan. Ironis, seorang Bapak yang menghabiskan waktunya dan mempertaruhkan seluruh hidupnya bagi kemerdekaan bangsanya, harus mengakhiri hidupnya di Tahanan Negara oleh bangsanya sendiri.

21 JUNI 1970, Han Minggu Pahing pukul 19.00 Bung Karno menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Gatot Subroto, setelah sekian lama mendenita sakit dan dikarantina di Wisma Yaso. “Innalillahi Wainna Illaihi Roji’un”. Telah pulang Bapak Bangsa Indonesia ke Rahmatullah dan kini tugas kita semua menjaga negeri ini selama-lamanya.

~Dari Berbagai Sumber~

Read more.....

Kamis, 14 Agustus 2008

Riwayat Singkat Tan Malaka

1897: Lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat

1913: Belajar di Belanda

1919: Kembali ke Indonesia dan mengajar kuli-kuli kontrak di Perusahaan Sanembah, Sumatera Timur.

1921: Pergi ke Jawa dan bergabung dengan Semaun di Semarang. Ia memimpin sekolah anak-anak anggota PKI , dan di akhir tahun, ia diangkat sebagai salah satu ketua PKI pada kongres PKI ke-8.

1922: Ditangkap dan dibuang ke luar negeri oleh pemerintah kolonial. Tan Malaka pergi ke Belanda, dan terpilih sebagai wakil Partai Komunis Belanda dalam parlemen Belanda. Ia gagal menjadi anggota karena usianya yang belum memenuhi syarat.

1923: Terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Akhir tahun itu juga, Tan Malaka mendirikan markas besar di Kanton,Cina.

1925: Mulai didera sakit paru-paru. Ia pergi ke Filipina untuk beristirahat sebentar. Ia kemudian mendengar rencana perlawanan bersenjata PKI dan coba untuk membatalkannya kendati gagal.


1927: Mendirikan Partai Republik Indonesia/PARI di Bangkok.

1928: Ikut Kongres Komintern ke-6 di Moskwa dan menentang tesis Bukharin yang menyerukan kerjasama kaum komunis dengan kaum borjuasi nasional.

1932: Ditahan polisi Inggris di Hongkong. Menjadi guru selama di Hongkong.

1937: Pindah ke Singapura. Sembari menjaga kontak dengan para aktivis di Jawa, Tan Malaka lagi-lagi menjadi guru.

1942: Tiba kembali di Jawa. Tinggal di daerah Cililitan. Madilog mulai ditulis.

1943: Menjadi kuli di daerah Bayah, Banten.

Agustus 1945 : Muncul kembali di Jakarta.

September 1945 : Tan Malaka, bersama Sukiman, Sjahrir dan Wongsonegoro, diberi mandat oleh Soekarno untuk meneruskan perjuangan jika dirinya berhalangan. Mandat ini masyhur dengan sebutan Surat Wasiat Soekarno.

November 1945 : Mendeklarasikan organ Persatoean Perdjoeangan. Pada bulan itu juga, Tan Malaka datang ke Surabaya dan terlibat dalam sejumlah pertempuran dengan tentara Sekutu.

Januari 1946 : Madilog beredar stensilan dari tangan ke tangan.

3 Juli 1946 : Sjahrir diculik. Tan Malaka dituduh sebagai otaknya. Ia kemudian ditangkap.

September 1948 : Dibebaskan dari penjara dengan maksud bisa ikut mendinginkan suasana yang panas akibat Kudeta Madiun 1948.

19 Juli 1949 : Ditembak mati di tepi sungai Brantas oleh sebuah kesatuan tentara dari Kodam Brawijaya.

Read more.....